------- BLOG-nya Anak-Anak Jurnalistik -------

"Mencoba Menyuguhkan yang Terbaik untuk DUNIA...."



Kamis, 19 Januari 2012

Saat Saat Terakhir 1

 

“SAAT SAAT TERAKHIR”

Ayam berkokok menyambut datangnya fajar pagi. Suara adzan awal berkumandang dari pengeras suara yang ada di tower masjid At Taqwa desa Pantenan. Dalam gelap malam Nek Ida bangun dari tidunya. Suara serangga malam mengiringi langkah kaki wanita tua ini menuju kamar mandi yang ada di belakang rumah.
Sekeliling rumah gelap tak ada lampu yang menerangi. Kondisi rumah yang di tempati nenek berusia hampir 1 abad ini begitu memperihatinkan. Letak rumahnya pun agak jauh dari rumah-rumah tetangga. Persisnya ada di tengah hamparan ladang pertanian. Hanya sinar rembulan yang menyinari sekeliling rumahnya.
Selesai mengambil air wudhu, Nek Ida membangunkan cucunya yang masih tidur lelap. Fajar adalah satu-satunya cucu angkat yang dimilikinya. Orang tua anak malang ini pergi entah kemana. Dia hanya tau bahwa dia dibesarkan oleh Nek Ida yang sudah dianggap sebagai neneknya sendiri. Dia dirawat dan dibesarkan di gubug sederhana ini dengan segenap kemampuannya. Fajar ditemukan Nek Ida di depan rumah 17 tahun yang lalu saat waktu menjelang shubuh.
Wanita tua yang rambutnya sudah ditumbuhi banyak uban ini hanya tinggal sendiri setelah suaminya meninggal 20 tahun yang lalu, akibat kecelakaan saat kerja di penambangan batu kapur. Nek Ida tidak dikarunia anak dari pernikahannya. Dan Fajar lah yang mengisi hari-harinya selepas kepergian suaminya.
Nek Ida orangnya taat beribadah dan sepertinya hal ini menurun pada Fajar. Setiap hari dia tidak pernah bosan mengingatkan sang cucu untuk selalu giat beribadah, dimanapun dan kapanpun. Bagi nenek tua ini, ibadah adalah yang utama. Dan hal ini dapat dimengerti oleh sang cucu, dalam hatinya yang paling dalam dia sangat salut dengan neneknya. Kebaikan dan kasih sayang yang diberikan sang nenek, membuat dia tak ingin berpisah dengannya.
Kini Nek Ida semakin tua. Tubuhnya tak seperti dulu lagi, rasa pegal sering menggerayangi tubuhnya. Kondisi inilah yang membuat Fajar semakin takut jika sang nenek akan meninggalkannya. Hanya nek Ida yang dia punya, tak ada lagi keluarga yang lain.
Fajar merasa bahwa sudah waktunya untuk bisa membahagiakan dan membalas semua jasa nenek yang telah merawatnya hingga besar seperti sekarang ini. Dan di usianya yang tak lagi anak-anak, Fajar ingin mencurahkan bakti kepada sang nenek. Fajar ingin kerahkan segenap waktu untuk merawat dan menemani hari-harinya.
Fajar sadar bahwa secara materi neneknya tidak bisa memberikan lebih kepadanya, seperti teman-teman yang bisa mendapat apa saja dari orang tua mereka. Akan tetapi kasih sayang dan perhatian nenek yang tak pernah putus itulah yang paling membuat dia bahagia sebagai cucunya. Dia sangat menyayangi Nek Ida begitu pula Nek Ida. Hal yang ingin dia lakukan adalah selalu menemani sang nenek diakhir-akhir hidupnya. Itulah janjinya yang merasa akan berpisah dengan sang nenek.
“Cu bangun!! ”
Rasa syukur yang dalam senantiasa Fajar panjatkan setelah membuka mata. Alhamdulillah, paling tidak hari ini dia masih bisa melihat sang nenek. Harapannya detik ini dan seterusnya – jika masih ada kesempatan dipertemukan – dia ingin selalu dapat membuat sang nenek bangga memiliki cucu seperti dirinya. Dan diselah-selah hari tua sang nenek inilah, dia ingin menjadi cucu yang bisa membahagiakannya.
Sembari mengucek-ngucek mata, Fajar tatap wajah keriput Nek Ida yang selalu menyuguhkan senyum menyejukkan. Sesejuk udara pagi ini. Di wajah keriputnya itu terpancar cahaya terang basuhan air wudhu. Panjatan doa selalu dia kirim untuk kesehatan neneknya. Bagaimanapun juga dia tidak ingin ditinggalkan nenek satu-satunya ini karena hanya dialah yang Fajar punya. Dia bahkan ikhlas jika ajal datang kepadanya sebagai pengganti ajal sang nenek bila ajal nenek tiba. Dia merasa tak kuasa jika harus ditinggalkan.
Dalam gelap malam, Fajar langkahkan kaki menuju sumur yang ada di belakang rumah. Dinginnya udara pagi begitu menusuk kulit. Semilir angin menggoyang-goyangkan pepohonan yang ada disekitar halaman belakang rumah. Bukan rumah mungkin tepatnya untuk sebutan tempat tinggal mereka, kata paling tepat adalah gubuk bambu.
Tali yang ada dihadapanya di-kerek untuk mengambil air yang ada di dalam sumur. Guyuran air membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Nikmat yang begitu terasa ia rasakan dari secuil kenikmatan Tuhan yang dia kini rasakan. Dia lebih suka mandi dengan air yang langsung diambil dari sumur. Air yang diambil langsung dari sumber pada waktu pagi hari dapat menyegarkan tubuh serta mampu menghilangkan rasa pegal yang ada dalam tubuh.
Di ruangan yang tidak terlalu lebar ini, Nek Ida sudah menunggu. Ruangan ini mempunya banyak fungsi. Sebagai ruang tamu jika ada tamu datang, saat malam sebagai ruang Fajar melelapkan mata, dan ruangan ini akan menjadi tempat untuk sholat jika waktu sholat tiba.
Gubuk bambu tempat tinggal mereka ini hanya memiliki satu kamar tidur. Sedari kecil Fajar tidur bersama Nek Ida, tapi setelah beberapa tahun lalu dia putuskan untuk tidur di ruang tamu. Bukan karena dia tidak sayang dengan sang nenek melainkan dia hanya ingin sang nenek dapat beristirahat dengan nyaman. Dipan beralaskan tikar lusuh yang hanya cukup untuk satu orang tidak mungkin nyaman jika dipakai untuk dua orang. Itulah alasan kenapa dia putuskan untuk tidur di ruang tamu.
Setelah sholat tahajud, mereka melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Kebiasaan ini sudah Nek Ida tanamkan pada sang cucu saat masih duduk di bangku SMP. Alhamdulillah dalam keadaan serba kekukarangan, dia masih menomersatukan pendidikan agama sang cucu. Dan dari pendapatan dari hasil jualan sayur dan rujak di depan rumahnya, dia mampu membiayai sekolah Fajar walaupun dalam membayar SPP kadang-kadang telat.
Setelah lulus dari bangku SMP, Fajar mendapatkan uang beasiswa prestasi sampai lulus SMA jadi hal ini sedikit meringankan tanggungan yang dipikul sang nenek. Dan kini dia sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi dia akan lulus. Dalam hati Fajar berharap dapat meneruskan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi.

vvv

Hari ini tepat hari kelulusan Fajar. Terlihat wajah Nek Ida begitu berseri menampakkan rasa bahagia yang sangat. Dengan seksama dia duduk di deretan bangku para tamu yang menghadiri acara wisuda sekaligus acara penghargaan bagi siswa yang berprestasi. Dengan setia dia menunggu hasil demi hasil peringkat yang dibacakan salah satu guru yang ada di atas mimbar.
Dalam tunduknya Nek Ida senantiasa panjatkan doa untuk kebaikan bagi cucunya. Apapun nanti yang diperoleh sang cucu adalah yang terbaik baginya dari Tuhan. Satu demi satu nama disebutkan. Nama Fajar Syaifuallah belum juga dipanggil. Dia masih setia menunggu sembari panjatan doa yang senantiasa terucap dari bibirnya. Disatu sisi Fajar sendiri begitu gelisa menunggu hasil nilai ujian yang telah dilaluinya.
Sekali lagi Fajar tidak ingin mengecewakan sang nenek yang sudah setia menghadiri acara yang sakral ini. Sang nenek rela menutup warung dagangannnya hanya untuk menghadiri acara kelulusan cucunya. Bagi Nek Ida, kepentingan cucu-lah yang terpenting dalam hidupnya. Karena sebenarnya Nek Ida juga merasakan bahwa ini adalah saat-saat terakhirnya bersama sang cucu. Maka dia tidak mau mengecewakan cucunya.
Dia mengusap punggung cucunnya yang kelihatan gelisa. Sembari menatap wajah sang cucu, dikembangkannya senyum yang menyejukkan. Paling tidak harapan sang nenek dengan seyum itu bisa membuat cucunya agak lebih tenang. Dan hasilnya pun dapat dikatakan mujarab. Senyum kasih sayang tulus dari sang nenek benar-benar memberikan dorongan moral dan ketenangan di hati Fajar.
“Dan tibalah pembacaan nama 5 siswa-siswi berperingkat terbaik.”
Sorak sorai para dan tepuk tangan tamu undangan menggema. Ada yang dengan semangat naik ke atas kursi dan bertepuk tangan, seperti dalam acara-acara MLM yang anggotanya penuh semangat menggelora. Tidak terkecuali dengan nenek dan Fajar yang dengan syukur dan doa mencurahkan kebahagiannya karena dari tadi nama Fajar Syaifullah belum dipanggil, berarti dia masuk ke dalam 5 besar siswa-siswi berperingkat terbaik.
Rasa syukur tak putus terucap dari bibir nenek. Wajahnya semakin berseri atas hasil yang telah ditorehkan sang cucu. Pelukan hangat diberikan kepada sang cucu. Rasa bahagia bercampur bangga menelusuri hatinya. Cucu satu-satunya ini mampu membuat dia bahagia.
Dan kini tinggal 2 nama siswa-siswi sebagai terbaik pertama dan kedua yang akan dibacakan. Rasa deg-degan pun semakin keras yang dirasakan Fajar. Tak diduga ternyata rasa ini juga dirasakan sang nenek. Sebagai manusia biasa dia juga mempunyai rasa gelisah, walaupun dia sudah berusaha pasrah akan semua keputusan yang akan diterima dari Sang Maha Pencipta namun dia masih juga merasakan perasaan gelisah.
“Tibalah nama siswa-siswi sebagai peringkat kedua dan peringkat pertama, marilah kita sambut sauda……” Sang guru menghentikan bicaranya sejenak.
Di bangku undangan sudah riuh tak sabar mendengar nama siswa yang akan disebut. Dalam hati Nek Ida dan Fajar berharap bahwa Fajar menjadi siswa terbaik pertama. Doa pun terpanjat kembali.
“Marilah kita sambut saudara Fajar Syaifullah sebagai siswa terbaik peringkat kedua!!”
Suara gemuruh tepuk tangan ramai terdengar membahana, akan tetapi Fajar sepertinya tak mendengar gemuruh tepuk tangan itu. Dia diam tertegun dengan apa yang didengarnya. Menjadi siswa peringkat kedua bukanlah seperti yang dia harapkan. Rasa kecewa menelusuri relung hatinya, dia tidak bisa memberikan hadiah kepada sang nenek dengan mendapatkan peringkat pertama.
“Beri tepuk tangan yang lebih keras untuk saudari Hartanti Dinejad sebagai siswi terbaik peringkat pertama.”
Suara tepuk tangan jauh lebih ramai terdengar. Fajar seakan tuli, tidak bisa mendengar suara keras tepuk tangan. Da masih dalam penyesalan yang dalam. Walaupun sang nenek sudah bahagia dengan hasil yang didapat cucunya. Bagi nenek yang terpenting sang cucu tetap giat beribadah itu sudah cukup.
Hasil UN (Ujian Nasional) yang didapat Fajar jauh lebih tinggi dari pada Hartanti. Entah faktor apa yang menjadi bahan pertimbangan para guru, sehingga memutuskan Hartanti sebagai peringkat pertama. Bagi Fajar yang egonya masih tinggi, dia lebih berharap menjadi siswa terbaik pertama. Ada rasa kebanggaan tersendiri jika namanya disebut sebagai peringkat pertama dalam acara itu. Dan itu juga akan membuat sang nenek lebih bangga.
Dalam tangis, Fajar sujud meminta maaf kepada sang nenek. Dia menyesal tidak dapat memberikan yang terbaik buat neneknya. Padahal segenap usaha telah dia lakukan untuk menjadi yang terbaik. Tapi apa yang jadi, semua tidak seperti yang diharapkannya. Disamping itu sang nenek tetap bahagia dengan prestasi yang diperoleh sang cucu.
“Sudahlah cu’, nenek tetap bangga mempunyai cucu sepertimu, yang terpenting buat nenek, jangan pernah lupa beribadah kapadaNya.” Sambil menyusap punggung.
Bersambung..................

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review