“SAAT SAAT TERAKHIR”
Ayam berkokok menyambut
datangnya fajar pagi.
Suara adzan awal berkumandang dari
pengeras suara yang ada di tower masjid At Taqwa desa Pantenan. Dalam gelap
malam Nek Ida bangun dari tidunya. Suara serangga malam mengiringi langkah kaki wanita tua ini menuju kamar mandi
yang ada di belakang rumah.
Sekeliling rumah gelap
tak ada lampu yang menerangi. Kondisi rumah
yang di tempati nenek berusia hampir 1 abad ini begitu memperihatinkan. Letak
rumahnya pun agak jauh dari rumah-rumah tetangga. Persisnya ada di tengah
hamparan ladang pertanian. Hanya sinar rembulan yang menyinari sekeliling
rumahnya.
Selesai
mengambil air wudhu, Nek Ida membangunkan cucunya yang masih tidur lelap. Fajar
adalah satu-satunya cucu angkat yang dimilikinya. Orang tua anak malang ini
pergi entah kemana. Dia
hanya tau bahwa
dia dibesarkan oleh Nek Ida yang sudah dianggap sebagai neneknya sendiri. Dia dirawat dan dibesarkan di gubug sederhana ini dengan segenap kemampuannya. Fajar ditemukan Nek Ida
di depan rumah 17 tahun yang lalu saat waktu menjelang shubuh.
Wanita
tua yang rambutnya sudah ditumbuhi banyak uban ini
hanya tinggal sendiri setelah suaminya meninggal
20 tahun yang
lalu, akibat kecelakaan saat kerja di penambangan batu
kapur.
Nek Ida tidak dikarunia anak dari pernikahannya. Dan
Fajar lah yang mengisi hari-harinya selepas kepergian suaminya.
Nek Ida orangnya taat
beribadah dan sepertinya hal ini
menurun pada Fajar. Setiap hari dia tidak
pernah bosan mengingatkan sang
cucu untuk selalu giat
beribadah, dimanapun dan kapanpun. Bagi nenek tua ini, ibadah adalah
yang utama. Dan hal ini dapat dimengerti
oleh sang cucu, dalam hatinya yang paling dalam dia sangat salut
dengan neneknya. Kebaikan dan kasih sayang yang diberikan sang nenek, membuat
dia tak ingin berpisah dengannya.
Kini Nek Ida semakin tua. Tubuhnya tak seperti dulu lagi, rasa pegal sering
menggerayangi tubuhnya. Kondisi inilah yang membuat Fajar semakin
takut jika sang nenek akan
meninggalkannya.
Hanya nek Ida yang dia
punya, tak ada lagi keluarga yang
lain.
Fajar
merasa bahwa sudah waktunya untuk bisa membahagiakan dan membalas semua jasa
nenek yang telah merawatnya hingga besar seperti sekarang ini. Dan di usianya yang tak lagi anak-anak, Fajar ingin mencurahkan bakti kepada sang nenek. Fajar ingin kerahkan segenap
waktu untuk merawat dan
menemani hari-harinya.
Fajar
sadar bahwa secara materi neneknya tidak bisa memberikan
lebih kepadanya,
seperti teman-teman yang bisa mendapat apa saja dari orang tua mereka.
Akan tetapi kasih sayang dan perhatian
nenek yang tak pernah putus itulah yang paling membuat dia bahagia sebagai
cucunya. Dia
sangat
menyayangi Nek Ida begitu pula Nek
Ida. Hal yang ingin
dia lakukan adalah selalu
menemani
sang nenek
diakhir-akhir hidupnya. Itulah janjinya
yang merasa akan berpisah dengan
sang nenek.
“Cu bangun!! ”
Rasa
syukur yang dalam senantiasa Fajar panjatkan setelah membuka mata. Alhamdulillah,
paling tidak hari ini dia masih bisa melihat sang nenek. Harapannya detik ini dan seterusnya – jika masih ada kesempatan
dipertemukan – dia ingin selalu dapat membuat sang nenek bangga memiliki cucu
seperti dirinya. Dan diselah-selah hari tua sang nenek inilah,
dia ingin menjadi cucu yang
bisa membahagiakannya.
Sembari mengucek-ngucek
mata, Fajar tatap wajah keriput Nek Ida
yang selalu menyuguhkan senyum menyejukkan.
Sesejuk udara pagi ini. Di
wajah keriputnya itu terpancar cahaya terang basuhan air wudhu. Panjatan doa selalu dia kirim untuk kesehatan neneknya. Bagaimanapun juga dia tidak ingin ditinggalkan nenek satu-satunya ini karena hanya dialah yang Fajar punya. Dia bahkan ikhlas jika
ajal datang kepadanya
sebagai pengganti ajal sang nenek bila
ajal nenek tiba. Dia
merasa tak kuasa jika harus ditinggalkan.
Dalam
gelap malam, Fajar langkahkan kaki menuju sumur yang
ada di belakang rumah. Dinginnya udara pagi
begitu menusuk kulit. Semilir angin
menggoyang-goyangkan pepohonan yang ada disekitar halaman belakang rumah. Bukan
rumah mungkin tepatnya untuk sebutan tempat tinggal mereka, kata paling tepat
adalah gubuk bambu.
Tali
yang ada dihadapanya di-kerek
untuk mengambil air yang ada di
dalam sumur. Guyuran air membasahi wajah dan sekujur
tubuhnya. Nikmat yang begitu terasa ia rasakan dari secuil
kenikmatan Tuhan yang dia kini rasakan. Dia lebih
suka mandi dengan air yang langsung diambil dari sumur. Air yang diambil langsung dari sumber pada waktu
pagi hari dapat menyegarkan tubuh serta mampu menghilangkan rasa pegal yang ada dalam tubuh.
Di ruangan yang tidak
terlalu lebar ini,
Nek Ida sudah menunggu. Ruangan ini
mempunya banyak fungsi. Sebagai ruang tamu jika ada tamu datang, saat malam
sebagai ruang Fajar melelapkan mata, dan ruangan ini akan menjadi tempat untuk
sholat jika waktu sholat tiba.
Gubuk bambu tempat
tinggal mereka ini hanya memiliki satu
kamar tidur. Sedari kecil Fajar tidur bersama Nek Ida, tapi setelah beberapa tahun lalu dia putuskan untuk tidur
di ruang tamu. Bukan karena dia tidak sayang dengan sang nenek
melainkan dia hanya ingin sang nenek dapat beristirahat dengan nyaman. Dipan
beralaskan tikar lusuh yang hanya cukup untuk satu orang tidak mungkin nyaman
jika dipakai untuk dua
orang. Itulah alasan kenapa dia
putuskan untuk tidur di ruang tamu.
Setelah sholat tahajud, mereka melaksanakan sholat subuh berjama’ah.
Kebiasaan ini sudah Nek Ida tanamkan pada
sang cucu saat masih duduk di bangku SMP. Alhamdulillah dalam
keadaan serba kekukarangan, dia
masih menomersatukan pendidikan agama sang
cucu. Dan dari pendapatan
dari hasil jualan sayur dan rujak
di depan rumahnya, dia
mampu membiayai sekolah
Fajar walaupun dalam membayar SPP kadang-kadang telat.
Setelah
lulus dari bangku SMP, Fajar mendapatkan uang
beasiswa prestasi sampai lulus SMA
jadi hal ini sedikit meringankan
tanggungan yang dipikul sang nenek.
Dan kini dia
sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi dia
akan lulus. Dalam hati Fajar berharap dapat meneruskan
pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi.
vvv
Hari
ini tepat hari kelulusan Fajar. Terlihat wajah Nek Ida begitu berseri
menampakkan rasa bahagia yang sangat. Dengan seksama dia duduk di deretan
bangku para tamu yang menghadiri acara wisuda sekaligus acara penghargaan bagi
siswa yang berprestasi. Dengan setia dia menunggu hasil demi hasil peringkat
yang dibacakan salah satu guru yang ada di atas mimbar.
Dalam
tunduknya Nek Ida senantiasa panjatkan doa untuk kebaikan bagi cucunya. Apapun
nanti yang diperoleh sang cucu adalah yang terbaik baginya dari Tuhan. Satu
demi satu nama disebutkan. Nama Fajar Syaifuallah belum juga dipanggil. Dia
masih setia menunggu sembari panjatan doa yang senantiasa terucap dari
bibirnya. Disatu sisi Fajar sendiri begitu gelisa menunggu hasil nilai ujian
yang telah dilaluinya.
Sekali
lagi Fajar tidak ingin mengecewakan sang nenek yang sudah setia menghadiri
acara yang sakral ini. Sang nenek rela menutup warung dagangannnya hanya untuk
menghadiri acara kelulusan cucunya. Bagi Nek Ida, kepentingan cucu-lah yang
terpenting dalam hidupnya. Karena sebenarnya Nek Ida juga merasakan bahwa ini
adalah saat-saat terakhirnya bersama sang cucu. Maka dia tidak mau mengecewakan
cucunya.
Dia
mengusap punggung cucunnya yang kelihatan gelisa. Sembari menatap wajah sang
cucu, dikembangkannya senyum yang menyejukkan. Paling tidak harapan sang nenek
dengan seyum itu bisa membuat cucunya agak lebih tenang. Dan hasilnya pun dapat
dikatakan mujarab. Senyum kasih sayang tulus dari sang nenek benar-benar
memberikan dorongan moral dan ketenangan di hati Fajar.
“Dan
tibalah pembacaan nama 5 siswa-siswi berperingkat terbaik.”
Sorak
sorai para dan tepuk tangan tamu undangan menggema. Ada yang dengan semangat
naik ke atas kursi dan bertepuk tangan, seperti dalam acara-acara MLM yang
anggotanya penuh semangat menggelora. Tidak terkecuali dengan nenek dan Fajar
yang dengan syukur dan doa mencurahkan kebahagiannya karena dari tadi nama
Fajar Syaifullah belum dipanggil, berarti dia masuk ke dalam 5 besar
siswa-siswi berperingkat terbaik.
Rasa
syukur tak putus terucap dari bibir nenek. Wajahnya semakin berseri atas hasil
yang telah ditorehkan sang cucu. Pelukan hangat diberikan kepada sang cucu.
Rasa bahagia bercampur bangga menelusuri hatinya. Cucu satu-satunya ini mampu
membuat dia bahagia.
Dan
kini tinggal 2 nama siswa-siswi sebagai terbaik pertama dan kedua yang akan
dibacakan. Rasa deg-degan pun semakin
keras yang dirasakan Fajar. Tak diduga ternyata rasa ini juga dirasakan sang
nenek. Sebagai manusia biasa dia juga mempunyai rasa gelisah, walaupun dia
sudah berusaha pasrah akan semua keputusan yang akan diterima dari Sang Maha Pencipta
namun dia masih juga merasakan perasaan gelisah.
“Tibalah
nama siswa-siswi sebagai peringkat kedua dan peringkat pertama, marilah kita
sambut sauda……” Sang guru menghentikan bicaranya sejenak.
Di
bangku undangan sudah riuh tak sabar mendengar nama siswa yang akan disebut.
Dalam hati Nek Ida dan Fajar berharap bahwa Fajar menjadi siswa terbaik
pertama. Doa pun terpanjat kembali.
“Marilah
kita sambut saudara Fajar Syaifullah sebagai siswa terbaik peringkat kedua!!”
Suara
gemuruh tepuk tangan ramai terdengar membahana, akan tetapi Fajar sepertinya
tak mendengar gemuruh tepuk tangan itu. Dia diam tertegun dengan apa yang
didengarnya. Menjadi siswa peringkat kedua bukanlah seperti yang dia harapkan.
Rasa kecewa menelusuri relung hatinya, dia tidak bisa memberikan hadiah kepada
sang nenek dengan mendapatkan peringkat pertama.
“Beri
tepuk tangan yang lebih keras untuk saudari Hartanti Dinejad sebagai siswi
terbaik peringkat pertama.”
Suara
tepuk tangan jauh lebih ramai terdengar. Fajar seakan tuli, tidak bisa mendengar
suara keras tepuk tangan. Da masih dalam penyesalan yang dalam. Walaupun sang
nenek sudah bahagia dengan hasil yang didapat cucunya. Bagi nenek yang
terpenting sang cucu tetap giat beribadah itu sudah cukup.
Hasil
UN (Ujian Nasional) yang didapat Fajar jauh lebih tinggi dari pada Hartanti.
Entah faktor apa yang menjadi bahan pertimbangan para guru, sehingga memutuskan
Hartanti sebagai peringkat pertama. Bagi Fajar yang egonya masih tinggi, dia
lebih berharap menjadi siswa terbaik pertama. Ada rasa kebanggaan tersendiri
jika namanya disebut sebagai peringkat pertama dalam acara itu. Dan itu juga
akan membuat sang nenek lebih bangga.
Dalam
tangis, Fajar sujud meminta maaf kepada sang nenek. Dia menyesal tidak dapat
memberikan yang terbaik buat neneknya. Padahal segenap usaha telah dia lakukan
untuk menjadi yang terbaik. Tapi apa yang jadi, semua tidak seperti yang
diharapkannya. Disamping itu sang nenek tetap bahagia dengan prestasi yang
diperoleh sang cucu.
“Sudahlah
cu’, nenek tetap bangga mempunyai cucu sepertimu, yang terpenting buat nenek,
jangan pernah lupa beribadah kapadaNya.” Sambil menyusap punggung.
Bersambung..................
0 komentar:
Posting Komentar