------- BLOG-nya Anak-Anak Jurnalistik -------

"Mencoba Menyuguhkan yang Terbaik untuk DUNIA...."



Senin, 24 Oktober 2011

rencana dibalik Rencana (Cerpen)



rencana dibalik Rencana




Kokok ayam membangunkan tidurku. Setelah mandi dan pakaian seragam rapi melekat pada tubuh, bergegas aku ke halte Bus Trans Jogja yang mana Bus Trans Jogjat tersebut  lebih kecil dari Trans Jakarta. Shelternya tidak jauh dari kos-ku. Aku putuskan menuntut ilmu di salah satu SMA yang ada di kota Jogja setelah lulus SMP di kota Lamongan. Aku sendiri terlahir sebagai anak kota Gresik yang terkenal dengan Semen-nya. Aku suka Jogja yang terkenal sebagai kota pelajar dan budaya, yang pasti lingkungannya mendukung untuk belajar. Kurogoh saku celana, kudapati uang dua lembar lima ribuan. Berarti uang ini hanya cukup buat bayar transport PP (Pulang-Pergi) ke sekolah dan makan sekali untuk hari ini.
Oh….my God!! Aku baru sadar kalau sudah tiga minggu ini, aku belum dapat transfer-an dari orang tua. Saat ini aku harus menghemat uang saku. Padahal akhir-akhir ini banyak sekali pengeluaranku, buat beli buku, mengerjakan tugas, makan, dan kebutuhan lainnya. Seharusnya sudah minggu yang lalu uangku di-transfer, tapi.... orang tuaku  belum punya uang. Jadi aku  harus sabar walapun harus makan sekali dalam sehari bahkan mungkin tidak makan kalau uangku sudah tidak ada sama sekali.
Orang tuaku hanya bisa menggantungkan hidup pada hasil sawah dan hasil kerajinan tangan yang dikerjakan ibu. Menurutku tidak akan bisa produktif jika sawah hanya digarap secara tradisional seperti  kebanyakan dikerjakan para petani yang berada di desa. Karena biaya penggarapan serta harga bibit dan pupuk yang relatif tinggi bagi rakyat di pedesaan. Dan itu tidak sebanding dengan harga jual hasil panen. Apalagi hasil kerajinan tangan ibu harus menunggu konsumen yang membutuhkan karena sebagai orang desa ibu belum punya relasi untuk memasarkan hasil kerajinannya.
Sekitar setengah jam perjalanan menggunakan Bus Trans Jogja, aku tiba di sekolahku tercinta setelah sebelumnya berjalan kaki kurang lebih sepuluh menit dari Halte ke sekolah.
“Firman!” suara terdengar dari balik punggungku. Langkahku terhenti, sosok bertubuh tinggi besar tengah berjalan menghampiriku. Dia adalah Fahmi. Sahabat baikku yang selalu mengerti aku. Kita selalu berdua di sekolah baik itu di kelas, kantin, dan perpus—menghabiskan waktu dengan membaca buku. Kita selalu bersama ketika sedih dan bahagia. Waupun kita berbeda agama, dia tidak pernah lupa mengingatkan aku untuk beribadah ketika waktu sholat tiba. Dia tidak pernah membanding-bandingkan sebuah agama.
Aku tertegun ketika dia bilang hari ini juga akan pergi ke malang selama tiga hari untuk menjenguk neneknya yang sedang sakit. Aku seakan tidak percaya, baru pertama kalinya aku dalam keadaan susah, tapi teman baikku meninggalkanku dalam kondisiku yang seperti ini. Aku harus minta bantuan siapa? Aku tak mempunyai sanak saudara. Biasanya kalau aku tidak punya uang, aku pinjam dia tapi sekarang dia mau pergi meninggalkanku. Lengkap sudah penderitaan yang aku alami ini.
“Oh…ya! Hati-hati ya di sana” ucapku dengan berat hati.
Sebenarnya berat hati untuk aku melepasnya walau cuma tiga hari. Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini. Huh......!!!! Aku tidak boleh egois. Setiap orang punya urusan masing-masing. Yang jelas aku harus pinjam uang teman kostku agar aku bisa memenuhi kebutuhanku. Karena sahabat yang selalu membantu aku, saat ini tertimpah musibah juga, jadi tidak etis kalau aku minta bantuannya. Semoga Allah menolong kita berdua.
Tet…tet…tet…
Bel tanda masuk telah dimulai.
“Masuk yuk!” ajakku pada Fahmi, langkah kaki memasuki ruang kelas. Diikuti langkah berat guru matematika. Di dalam kelas, aku masih merenungkan keadaanku. Ku pejamkan mata sesaat agar keadaanku bisa normal, tanpa bayang-bayang akan masalah yang aku hadapi. Namun resah terus menggelayut dalam pikiranku. Tanpa kusadari sepotong kapur melayang mengenai kepalaku. ”Tukkk...Aduh!!!!!” Semua murid memandang dan menertawakanku. Aku hanya bisa  menahan sakit dan rasa  malu.

xxx

            Malam sunyi, suara serangga beralun mengiringi malamku. Aku meratapi nasibku.  Adakah penolong bagiku? Ku lantunkan ayat suci dalam pangkuan. Kedamaian menembus hening hatiku. Kesejukan hati tercapai menghapus semua resah yang ada.
            “Assalamu’alaikum ya akhi!” sapaan hangat dari bibir akhi Ridho. Teman satu kos. Dilangkahkannya kaki memasuki kamarku yang belum sempat kubereskan, banyak buku yang berserakan.
            “Besok ada lomba adzan! Mau ikut?” tanya Ridho seraya memberiku selembar kertas bertuliskan Lomba Adzan di baris paling atas. Senyum Ridho memberikan dukungan padaku untuk mengikuti lomba tersebut.
            “Aku juga ikut! Sapa tau itu rizki kita, lumayan buat masukan sebab ortuku belum kirim.” tukas ridho
kok bisa sama??” Pikirku dalam hati.
            MasyaAllah aku kira hanya aku yang mempunyai masalah seperti ini, ternyata teman kosku juga mengalaminya. Tapi aku heran, mengapa dia tak sedikit pun menunjukkan rasa keresahan atau kegelisahan menghadipi semua itu, tidak seperti aku. Ternyata aku bukanlah orang yang sabar, bukan orang yang tegar dalam menghadapi suatu masalah. Ya Allah tuntunlah hamba agar lebih sabar dan tabah.

xxx
           
            Hari minggu yang cerah. Di sertai dengan sinar matahari yang menghangatkan tubuhku.
            “Ayo berangkat!” ajak ridho yang sudah rapi dengan baju koko dan celana hitam berbahan kain, tidak ketinggalan pula peci hitam menutup rambut kritingnya.
            “Kemana?” tanyaku yang masih belum sadar, padahal hari ini akan dilaksanakan perlombaan adzan. Aku merasa seakan semua memori dalam otakku hilang ditelan kebingungan serta kebimbangan oleh sebuah keadaan.
“Heh…!!!” Sekali lagi ridho mengagetkanku yang masih melamun. Aku orang yang tidak bisa menggap sesuatu itu sepele, walau sekecil apapun masalah itu. Bagiku masalah adalah perkara besar yang harus dipikirkan jalan keluarnya.
            “Ayo ke tempat lomba!!”
            Ya Allah aku baru sadar ternyata hari ini adalah hari dimana aku bisa meraih hadiah yang mungkin bisa membantu keadaan yang sedang menimpaku. Itupun kalau aku bisa meraih kemenangan dalam lomba itu. 
          Aku pun bergegas mandi dan berpakaian rapi. Bersama Ridho, kulangkahkan kaki menuju tempat perlombaan yang tidak seberapa jauh dari kos kami. Hanya melewati jalanan di perumahan Griya Nusa Indah dan menyeberangi jembatan di atas sungai Gajah Wong untuk bisa sampai ke tempat perlombaan dengan cepat.
          Hati pun mulai bimbang menanti saat-saat yang mendebarkan, saat dimana aku harus berperang, berjuang meraih sebuah kemenangan.
            “Fir! Ayo sekarang giliranmu” lamunanku pecah.
            Gimana aku bisa menang kalau pada diriku sendiri tak ada semangat atau pun keyakinan untuk menang. Bismillah, man jadda wa jadda! Dengan berjuang melawan rasa ketidak berdayaan, ku jalani juga perlombaan ini. Sekarang hanya doa dan tawakal yang bisa aku perbuat, usaha serta perjuangan sudah aku tunaikan. Ya Allah hanya atas ijin-Mu segala kan berlaku!! Hati penuh pengharapan akan kemenangan atas perjuanganku, dan paling tidak kemenangan ini juga dapat meringankan sedikit masalah yang ku alami.
            Tiba juga waktu pengumuman, pemenang hanya diambil 3 teratas, yaitu juara pertama, kedua dan ketiga. para pemenang dipanggil dari urutan bawah,
“Juara ketiga lomba adzan adalah khoirul na’im dari kota timoho” suara MC membahana disambut teriakan serta tepukan para penonton yang memadati tempat perlombaan. “Juara kedua, kita sambut dengan tepukan yang meriah, Imam asyrofi dari Sapen” tepukan yang lebih meriah mengiringi sang pemenang maju ke atas pentas.
Namaku masih juga belum dipanggil, ini kesempatan terakhir namaku dipanggil, dengan penuh harap ku panajatkan segalah doa demi sebuah kemengan. Kalimat dzikir tak putus oleh bibirku, komat-kamit  terucap kalimat dzikir. “Dan tiba pada pemenang pertama”. “Deg..!!” jantungku kaget oleh suara MC. “Kita sambut, ananda Rizal Mahri dari tugu.”
            Lemas sekujur tubuhku, nama yang sangat kunantikan tak juga dipanggil sebagai pemenang di perlombaan kali ini. Ya Allah, kenapa segala yang ku usahakan, segala yang ku tempuh tak juga Engakau berikan hasil? Apa aku tak patut memperoleh rahmat-Mu?? Aku sudah penuh peluh berjuang, aku sudah berusaha meraih mimpi-mimpi yang ada. Tak sedikitpun ku dapatkan buah dari hasil menanamku. Apa salah dan dosaku Tuhan……?? sehingga segalah usaha yang telah aku lakukan, percuma begitu saja. Tak ada manfaat sama sekali bagiku ini.
            Lebih menyakitkan lagi, aku tau dari obrolan penonton bahwa para pemenang tadi adalah warga asli Jogja semua. Padahal dari perlombaan tadi, aku tidak lebih jelek dari  mereka yang mendapatkan gelar juara, apalagi suara ridho begitu menyentuh hati saat dia mengumandangkan adzan tadi. Suara mereka semua nggak ada apa-apanya tapi tetap saja ridho tidak menjadi pemenangnya. Apakah benar bahwa nepotisme sudah merebak di seluruh negeri? Tak hanya di gedung perwakilan saja akan tetapi sudah merebak ke segalah penjuru, bahkan yang berhubungan dengan keagamaan. Seperti pada lomba adzan yang diadakan di radio Suara Insani ini??
            Bagaimana dengan aku? Apa aku harus mencuri untuk memenuhi kebutuhanku?? Asstagfirullah hal ‘adhim! Ya Allah jauhkan aku dari perbuatan yang terkutuk, hindarkan aku dari api neraka-Mu. Aku harapkan surga-Mu tapi apa aku pantas kalau aku sendiri mau berputus asa begini?
            Ku langkahkan kakiku meninggalkan tempat perlombaan yang tak adil bagiku. Ridho masih dengan ketabahan dan kesabaranya selalu membesarkan hatiku. Dia begitu tawakal menerima semua yang dihadapinya, tak ada rasa di-dholimi dalam perlombaan tadi. Dia hanya berkata Itu semua belum rezeki kita, masih banyak jalan untuk memperoleh rezeki-Nya. Begitu keyakinan ridho bahwa manusia membawa rizekinya masing-masing. Aku malu dengan ketabahan ridho walaupun dia bukan berasal dari pondok pesantren seperti aku tapi keagamaanya begitu kental dan melekat. Ya Allah ampunilah dosaku.

xxx

            Hari senin pagi yang cerah, sinar mentari menerobos celah-celah jendela. Dari balik pintu kamar kusambut pagi dengan muram muka. Kubuka pintu pelan-pelan. Aku tersontak  kaget. Di hadapanku berdiri sosok tinggi kekar berbaju agak kusut. Aku pikir pak kost yang mau menagih uang kost yang sudah nunggak 1 bulan. Di atas saku bajunya tertera tulisan “Kantor Pos”. Dengan  senyum terpaksa ku sambut pria yang aku tau bernama Muhlis—dari kartu nama yang terpasang di depan dadanya. Sepucuk surat kuterima setelah mengisi nama dan tanda tangan di secarik kertas resi darinya. Tukang pos berlalu meninggalkan kamar kostku.
Hati-hati ku buka amplop, aku takut jika surat itu adalah surat peringatan dari sekolah karena SPP-ku nunggak 1 bulan dan bulan ini adalah bulan ke-2 aku harus bayar SPP. Dalam peraturan sekolah nggak ada kata SPP telat bayar apalagi ngutang, tapi karena aku dikenal baik sebagai murid yang selalu membawa nama baik sekolah, sehingga aku diberikan dispensasi untuk bulan kemaren dalam membayar SPP.
Pelan-pelan kutarik kertas surat dengan kop surat bertuliskan majalah Sabilillah—majalah ternama di kota Jogja. aku melonjak kegirangan, mengangkat tangan dan menariknya ke dada seperti ronaldo yang baru saja mencetak gol di menit-menit terakhir pertandingan. Spontan aku bersujud syukur  memanjatkan rasa syukur yang teramat atas anugerah ini. Aku lari kekamar sebelah memberikan kabar pada Ridho. Aku serahkan dengan penuh bangga dan syukur surat dari majalah Sabilillah padanya. Dibacanya dengan sungguh-sungguh dan teliti tulisan “Selamat kepada saudara Firmansyah atas diterbitkannya naskah cerita ‘sebening embun pagi’ pada Rubrik cerbung—cerita bersambung.”
            Ridho dengan bangga menyalamiku. Aku senang sekali, usahaku membuahkan hasil juga. Aku sebenarnya sudah tidak memikirkan akan cerbung yang pernah aku kirim. Aku juga sudah beranggapan bahwa cerita tersebut sudah dibuang di tempat sampah oleh penerbit karena lebih dari 4 bulan yang lalu aku mengirimnya. Aku pernah dengar bahwa naskah yang tidak ada kabar berita selama 3 bulan dari hari mengirim sudah dinyatakan hangus atau tidak dapat dimuat.
            Rasa syukur tak putus-putus aku panjatkan, bukan hanya karena naskahku dimuat tetapi dengan dimuatnya naskah ku berarti aku juga mendapatkan honor yang bisa aku gunakan untuk membayar SPP dan kost. Di tengah panjatan rasa syukur bahagia, ringtone handphone nokia 3100-ku berdering, Tulisan “Bunda Tersayank” terterah jelas dilayar. Kubuka pembicaraan setelah menekan tombol yang bergambar telepon berwarna hijau dengan ucapan salam. Terdengar suara khas ibu yang tak pernah bisa aku lupakan. "Ibu sudah kirim uang. Alhamdulillah baru saja dapat rezeki, ada pembeli dari kota yang memborong hasil kerajinan yang ibu buat."
Tetesan air mataku tak terbendung lagi, rasa haru dan syukur atas limpahan rezeki yang dianugerahkan Tuhan saat ini begitu terasa. Tidak hanya satu tapi anugerah yang aku peroleh dua sekaligus. Aku baru sadar dengan kata-kata yang selalu aku dapatkan di pesan message dari teman-temanku bahwa: “Tuhan memberikan sesuatu pada waktunya dengan begitu indah, melebihi keindahan yang hanya bisa kita bayangkan sebelumnya, jika kita mau bersabar dan tawakal.”  Alhamdulillah….. Ya Allah.

2 komentar:

Nurhafizah Kholish mengatakan...

cantekkk,ini cuma rekayasa doank kan,om?

Syamsu Dhuha FR mengatakan...

iya vis, itu cuma rekayasa (Karya Fiksi).

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review