Kokok ayam membangunkan tidurku. Setelah mandi dan pakaian seragam rapi
melekat pada tubuh, bergegas aku ke halte Bus Trans Jogja yang mana Bus Trans Jogjat tersebut lebih kecil dari Trans Jakarta. Shelternya tidak jauh dari kos-ku. Aku
putuskan menuntut ilmu di salah satu SMA yang ada di kota Jogja setelah lulus
SMP di kota Lamongan. Aku sendiri terlahir sebagai anak kota Gresik yang
terkenal dengan Semen-nya. Aku suka Jogja yang terkenal sebagai kota pelajar dan budaya, yang pasti
lingkungannya mendukung untuk belajar. Kurogoh saku celana, kudapati uang dua lembar lima ribuan. Berarti uang
ini hanya cukup buat bayar transport PP (Pulang-Pergi) ke sekolah dan makan
sekali untuk hari ini.
Oh….my God!! Aku baru sadar kalau sudah tiga minggu ini, aku belum dapat transfer-an dari orang tua. Saat ini aku
harus menghemat uang saku. Padahal akhir-akhir ini banyak sekali pengeluaranku,
buat beli buku, mengerjakan tugas, makan, dan kebutuhan lainnya. Seharusnya
sudah minggu yang lalu uangku di-transfer, tapi.... orang tuaku belum punya uang. Jadi aku
harus sabar walapun harus makan sekali dalam sehari bahkan mungkin tidak
makan kalau uangku sudah
tidak ada sama sekali.
Orang tuaku hanya bisa menggantungkan hidup pada hasil sawah dan hasil kerajinan tangan yang dikerjakan ibu. Menurutku tidak akan bisa produktif jika sawah hanya digarap secara tradisional seperti kebanyakan dikerjakan para petani yang berada di desa. Karena biaya
penggarapan serta harga bibit dan pupuk yang relatif tinggi bagi rakyat di pedesaan. Dan itu tidak sebanding dengan harga jual hasil panen. Apalagi
hasil kerajinan tangan ibu
harus menunggu konsumen yang membutuhkan
karena sebagai orang desa ibu belum punya relasi untuk memasarkan hasil kerajinannya.
Sekitar setengah jam perjalanan menggunakan Bus Trans Jogja, aku tiba di sekolahku
tercinta setelah sebelumnya berjalan kaki kurang lebih sepuluh menit dari Halte ke sekolah.
“Firman!” suara terdengar
dari balik punggungku. Langkahku terhenti, sosok bertubuh tinggi besar tengah berjalan menghampiriku. Dia adalah Fahmi. Sahabat baikku
yang selalu mengerti aku.
Kita selalu berdua di sekolah baik itu di kelas, kantin, dan
perpus—menghabiskan waktu dengan membaca buku. Kita selalu bersama ketika sedih
dan bahagia. Waupun kita berbeda agama, dia tidak pernah lupa mengingatkan aku
untuk beribadah ketika waktu sholat tiba. Dia tidak pernah
membanding-bandingkan sebuah agama.
Aku tertegun ketika dia bilang hari ini juga akan pergi ke malang selama
tiga hari untuk menjenguk neneknya yang sedang sakit. Aku seakan tidak percaya,
baru pertama kalinya aku dalam keadaan susah, tapi teman baikku meninggalkanku
dalam kondisiku yang seperti ini. Aku harus minta bantuan
siapa? Aku tak mempunyai sanak
saudara. Biasanya kalau aku tidak punya uang, aku pinjam dia tapi
sekarang dia mau pergi meninggalkanku. Lengkap sudah penderitaan yang aku alami ini.
“Oh…ya! Hati-hati ya di sana” ucapku dengan berat hati.
Sebenarnya berat hati untuk
aku melepasnya walau cuma tiga hari. Apalagi dengan keadaanku yang seperti ini.
Huh......!!!! Aku tidak boleh egois. Setiap orang punya urusan masing-masing. Yang jelas aku
harus pinjam uang teman kostku agar aku bisa memenuhi kebutuhanku. Karena
sahabat yang selalu membantu aku, saat ini tertimpah musibah juga, jadi tidak etis kalau aku minta bantuannya. Semoga
Allah menolong kita berdua.
Tet…tet…tet…
Bel tanda masuk telah
dimulai.
“Masuk yuk!” ajakku pada Fahmi,
langkah kaki memasuki ruang kelas. Diikuti langkah berat guru matematika. Di
dalam kelas, aku masih merenungkan keadaanku. Ku pejamkan mata sesaat agar
keadaanku bisa normal, tanpa
bayang-bayang akan masalah
yang aku hadapi. Namun resah
terus menggelayut dalam pikiranku. Tanpa kusadari sepotong kapur melayang
mengenai kepalaku.
”Tukkk...Aduh!!!!!” Semua murid
memandang dan menertawakanku. Aku hanya bisa menahan sakit dan rasa malu.
xxx
Malam sunyi, suara serangga beralun
mengiringi malamku. Aku meratapi
nasibku. Adakah penolong bagiku? Ku lantunkan ayat suci dalam pangkuan.
Kedamaian menembus hening hatiku. Kesejukan hati tercapai menghapus semua resah
yang ada.
“Assalamu’alaikum ya akhi!” sapaan
hangat dari bibir akhi Ridho. Teman satu kos. Dilangkahkannya kaki
memasuki kamarku yang belum sempat kubereskan, banyak buku yang berserakan.
“Besok ada lomba adzan! Mau ikut?” tanya Ridho seraya memberiku
selembar kertas bertuliskan Lomba Adzan di baris paling
atas. Senyum Ridho memberikan dukungan padaku untuk mengikuti lomba tersebut.
“Aku juga ikut! Sapa tau itu rizki
kita, lumayan buat masukan sebab ortuku belum kirim.” tukas ridho
“kok bisa sama??” Pikirku dalam hati.
MasyaAllah aku kira hanya aku yang mempunyai masalah seperti ini,
ternyata teman kosku juga
mengalaminya. Tapi aku heran, mengapa dia tak sedikit pun menunjukkan rasa keresahan
atau kegelisahan menghadipi semua
itu, tidak seperti aku.
Ternyata aku bukanlah orang yang sabar, bukan orang yang tegar dalam menghadapi
suatu masalah. Ya Allah tuntunlah hamba agar lebih sabar dan tabah.
xxx
Hari minggu yang cerah. Di sertai dengan sinar matahari yang
menghangatkan tubuhku.
“Ayo berangkat!” ajak ridho yang
sudah rapi dengan baju koko dan celana hitam berbahan kain, tidak ketinggalan
pula peci hitam menutup rambut kritingnya.
“Kemana?” tanyaku yang masih belum
sadar, padahal hari ini akan dilaksanakan perlombaan adzan. Aku merasa seakan
semua memori dalam otakku
hilang ditelan kebingungan serta kebimbangan oleh sebuah keadaan.
“Heh…!!!” Sekali lagi ridho mengagetkanku yang masih melamun. Aku orang yang tidak bisa
menggap sesuatu itu sepele, walau sekecil apapun masalah itu. Bagiku masalah adalah
perkara besar yang harus dipikirkan jalan keluarnya.
“Ayo ke tempat lomba!!”
Ya Allah aku baru sadar ternyata
hari ini adalah hari dimana aku bisa meraih hadiah yang mungkin bisa membantu
keadaan yang sedang menimpaku.
Itupun kalau aku bisa meraih kemenangan dalam lomba itu.
Aku pun bergegas mandi dan berpakaian rapi. Bersama Ridho, kulangkahkan kaki menuju tempat perlombaan yang tidak seberapa jauh dari kos kami. Hanya melewati jalanan di perumahan Griya Nusa Indah dan menyeberangi jembatan di atas sungai Gajah Wong untuk bisa sampai ke tempat perlombaan dengan cepat.
Hati pun mulai bimbang menanti saat-saat yang mendebarkan, saat dimana aku harus berperang, berjuang meraih sebuah kemenangan.
Hati pun mulai bimbang menanti saat-saat yang mendebarkan, saat dimana aku harus berperang, berjuang meraih sebuah kemenangan.
“Fir! Ayo sekarang giliranmu”
lamunanku pecah.
Gimana aku bisa menang kalau pada
diriku sendiri tak ada semangat atau pun keyakinan untuk menang. Bismillah, man jadda wa jadda! Dengan
berjuang melawan rasa ketidak berdayaan, ku jalani juga perlombaan ini.
Sekarang hanya doa dan tawakal yang bisa aku perbuat, usaha serta perjuangan
sudah aku tunaikan. Ya Allah hanya atas ijin-Mu segala kan berlaku!! Hati penuh
pengharapan akan kemenangan atas perjuanganku, dan paling tidak kemenangan ini juga dapat meringankan sedikit
masalah yang ku alami.
Tiba juga waktu pengumuman, pemenang
hanya diambil 3 teratas, yaitu juara
pertama, kedua dan ketiga. para
pemenang dipanggil dari urutan bawah,
“Juara ketiga lomba adzan adalah khoirul na’im dari kota timoho” suara MC
membahana disambut teriakan serta tepukan para penonton yang memadati tempat perlombaan. “Juara
kedua, kita sambut dengan tepukan yang meriah, Imam asyrofi dari Sapen” tepukan
yang lebih meriah mengiringi sang pemenang maju ke atas pentas.
Namaku masih juga belum dipanggil, ini kesempatan terakhir namaku
dipanggil, dengan penuh harap ku panajatkan segalah doa demi sebuah kemengan.
Kalimat dzikir tak putus oleh
bibirku, komat-kamit terucap
kalimat dzikir. “Dan tiba pada pemenang pertama”. “Deg..!!” jantungku kaget
oleh suara MC. “Kita sambut, ananda Rizal Mahri dari tugu.”
Lemas sekujur tubuhku, nama yang
sangat kunantikan tak juga dipanggil sebagai pemenang di perlombaan kali ini.
Ya Allah, kenapa segala yang ku usahakan, segala yang ku tempuh tak juga Engakau berikan hasil? Apa aku tak
patut memperoleh rahmat-Mu?? Aku sudah penuh peluh berjuang, aku sudah berusaha meraih mimpi-mimpi yang
ada. Tak sedikitpun ku dapatkan buah dari hasil menanamku. Apa salah dan
dosaku Tuhan……?? sehingga segalah usaha yang telah aku lakukan, percuma begitu
saja. Tak ada manfaat sama sekali bagiku ini.
Lebih menyakitkan lagi, aku tau dari
obrolan penonton bahwa para pemenang tadi adalah warga asli Jogja semua. Padahal
dari perlombaan tadi, aku tidak lebih jelek dari mereka yang mendapatkan gelar juara, apalagi
suara ridho begitu menyentuh hati saat dia mengumandangkan adzan tadi. Suara mereka semua nggak ada
apa-apanya tapi tetap saja ridho tidak menjadi pemenangnya. Apakah benar bahwa
nepotisme sudah merebak di seluruh negeri? Tak hanya di gedung perwakilan saja
akan tetapi sudah merebak ke segalah penjuru, bahkan yang berhubungan dengan
keagamaan. Seperti pada lomba adzan yang diadakan di radio Suara Insani ini??
Bagaimana dengan aku? Apa aku harus
mencuri untuk memenuhi kebutuhanku?? Asstagfirullah
hal ‘adhim! Ya Allah jauhkan aku dari perbuatan yang terkutuk, hindarkan aku dari api neraka-Mu. Aku harapkan surga-Mu
tapi apa aku pantas kalau aku sendiri mau berputus asa begini?
Ku langkahkan kakiku meninggalkan
tempat perlombaan yang tak adil bagiku. Ridho masih dengan ketabahan dan
kesabaranya selalu membesarkan hatiku. Dia begitu tawakal menerima semua yang
dihadapinya, tak ada rasa di-dholimi
dalam perlombaan tadi. Dia hanya berkata “Itu semua
belum rezeki kita, masih banyak
jalan untuk memperoleh rezeki-Nya”.
Begitu keyakinan ridho bahwa
manusia membawa rizekinya masing-masing. Aku malu dengan ketabahan ridho
walaupun dia bukan berasal dari pondok pesantren seperti aku tapi keagamaanya
begitu kental dan melekat. Ya
Allah ampunilah dosaku.
xxx
Hari senin pagi yang cerah, sinar
mentari menerobos celah-celah jendela. Dari balik pintu kamar kusambut pagi
dengan muram muka. Kubuka pintu pelan-pelan. Aku tersontak kaget. Di hadapanku berdiri sosok tinggi kekar berbaju agak kusut. Aku
pikir pak kost yang mau menagih uang kost yang sudah nunggak 1 bulan. Di atas saku bajunya tertera tulisan “Kantor Pos”.
Dengan senyum terpaksa ku sambut pria
yang aku tau bernama Muhlis—dari kartu nama yang terpasang di depan dadanya.
Sepucuk surat kuterima setelah mengisi nama dan tanda tangan di secarik kertas
resi darinya. Tukang pos berlalu meninggalkan kamar kostku.
Hati-hati ku buka amplop, aku takut jika surat itu adalah surat
peringatan dari sekolah karena SPP-ku nunggak
1 bulan dan bulan ini adalah bulan ke-2 aku harus bayar SPP. Dalam peraturan
sekolah nggak ada kata SPP telat bayar apalagi ngutang, tapi karena aku dikenal baik sebagai murid yang selalu
membawa nama baik sekolah, sehingga aku diberikan dispensasi untuk bulan
kemaren dalam membayar SPP.
Pelan-pelan kutarik kertas surat dengan kop surat bertuliskan majalah
Sabilillah—majalah ternama di kota Jogja. aku melonjak kegirangan, mengangkat
tangan dan menariknya ke dada seperti ronaldo yang baru saja mencetak gol di
menit-menit terakhir pertandingan. Spontan
aku bersujud syukur memanjatkan
rasa syukur yang teramat atas anugerah ini. Aku lari kekamar sebelah memberikan
kabar pada Ridho. Aku serahkan dengan penuh bangga dan syukur surat dari
majalah Sabilillah padanya. Dibacanya dengan sungguh-sungguh dan teliti tulisan
“Selamat kepada saudara Firmansyah atas diterbitkannya naskah cerita
‘sebening embun pagi’ pada Rubrik cerbung—cerita bersambung.”
Ridho dengan bangga menyalamiku. Aku
senang sekali, usahaku membuahkan hasil juga. Aku sebenarnya sudah tidak
memikirkan akan cerbung yang pernah aku kirim. Aku juga sudah beranggapan bahwa
cerita tersebut sudah dibuang
di tempat sampah oleh penerbit karena lebih dari 4 bulan yang lalu aku
mengirimnya. Aku pernah dengar bahwa naskah yang tidak ada kabar berita selama
3 bulan dari hari mengirim sudah dinyatakan hangus atau tidak dapat dimuat.
Rasa syukur tak putus-putus aku
panjatkan, bukan hanya karena naskahku dimuat tetapi dengan dimuatnya naskah ku
berarti aku juga mendapatkan honor yang
bisa aku gunakan untuk membayar SPP dan kost. Di tengah panjatan rasa syukur
bahagia, ringtone handphone nokia 3100-ku berdering, Tulisan “Bunda Tersayank”
terterah jelas dilayar. Kubuka pembicaraan setelah
menekan tombol yang bergambar telepon berwarna hijau dengan ucapan salam. Terdengar suara khas ibu yang tak pernah bisa
aku lupakan. "Ibu sudah kirim uang. Alhamdulillah baru saja dapat rezeki, ada
pembeli dari kota yang memborong hasil kerajinan yang ibu buat."
Tetesan air mataku tak terbendung lagi, rasa haru dan syukur atas
limpahan rezeki yang dianugerahkan Tuhan saat ini begitu terasa. Tidak hanya
satu tapi anugerah yang aku peroleh dua sekaligus. Aku baru sadar dengan
kata-kata yang selalu aku dapatkan di pesan message dari teman-temanku bahwa:
“Tuhan memberikan sesuatu pada waktunya dengan begitu indah, melebihi keindahan
yang hanya bisa kita bayangkan sebelumnya, jika kita mau bersabar dan
tawakal.” Alhamdulillah….. Ya Allah.
2 komentar:
cantekkk,ini cuma rekayasa doank kan,om?
iya vis, itu cuma rekayasa (Karya Fiksi).
Posting Komentar